![]() |
Tahun berikutnya sebanyak 2.000 orang turut menghadiri peringatan Hari Perempuan Nasional di Manhattan. Di tahun 1909 tersebut, pekerja garmen perempuan melancarkan pemogokan massal, dimana sebanyak 20.000 hingga 30.000 buruh perempuan mogok selama 13 minggu di suatu musim dingin demi menuntut upah yang lebih besar dan kondisi kerja yang lebih baik. Kemudian pada Kongres Perempuan Sosialis kedua diputuskan pada tanggal 19 Maret tahun 1911 untuk menyelenggarakan hari perempuan internasional yang pertama, setelah itu tahun 1913 hari perempuan internasional dipindahkan ke tanggal 8 maret. Hingga pada akhirnya tahun 1975 untuk pertama kalinya Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional dan sejak tanggal itu diperingati sebagai hari perempuan internasional sampai sekarang.
Penindasan yang dialami oleh perempuan diberbagai sektor terus terjadi hingga hari ini, kekerasan fisik maupun psikis menjadi momok yang menakutkan bagi perempuan, Komnas Perempuan mencatat Tahun 2020 mengatakan bahwa 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang tahun 2019, dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%) artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat2. Kekerasan terhadap perempuan seperti fenomena gunung es dalam situasi sebenarnya perempuan benar – benar tidak aman.
Di sektor agraria, konflik terus terjadi, tercatat sepanjang 5 tahun terakhir (2014-2019) sebanyak 2.243 kasus, mencakup 5,8 juta hektar wilayah konflik di seluruh provinsi di Indonesia. Konflik agraria tersebut mengakibatkan jatuhnya banyak korban; 1.236 orang dikriminalisasi, 656 orang dianiaya/terluka, 68 tertembak, bahkan 60 nyawa melayang di wilayah konflik agraria.
Dalam konflik agraria perempuan dan anak-anak turut menjadi korban, akibat kekerasan dalam penanganan konflik di lapangan3, konflik yang terjadi meninggalkan trauma yang mendalam bagi perempuan dan anak, selain itu perempuan harus menanggung beban yang berlapis karena peran gender yang selama ini dilekatkan kepadanya yaitu harus selalu memastikan ketersediaan makanan untuk keluarganya sehingga jika terjadi perampasan tanah maka perempuan yang harus berfikir keras bagaimana agar asap dapur terus mengepul.
Di sektor perburuhan, buruh perempuan mengalami ketimpangan upah, Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Laporan Perekonomian 2019 mencatat, kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan semakin lebar. Upah untuk pekerja laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Selama periode 2015-Februari 2019, selisihnya mencapai Rp 492,2 ribu. Adapun secara rinci, selisih pada 2015 sebesar Rp 269 ribu, Rp 458,4 ribu (2016), Rp 554 ribu (2017), dan Rp 560,6 ribu (2018). Sementara hingga Februari 2019, kesenjangan semakin lebar hingga Rp 618,8 ribu, Selain itu, perempuan juga cenderung ditempatkan pada posisi yang bernilai rendah4. Selain ketimpangan upah, buruh-buruh perempuan kesulitan mendapatkan hak – hak maternitasnya (cuti haid, cuti melahirkan, dll) di tempat kerja padahal hak – hak tersebut sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 tetapi sering kali perusahaan abai terhadap aturan tersebut, bukan hanya soal upah, hak – hak maternitas yang tidak didapatkan tetapi buruh perempuan rentan menjadi korban ditempat kerja.
Perempuan yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga situasi yang dialami tidak jauh berbeda dengan kondisi yang dialami oleh buruh – buruh perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik, tidak ada perlindungan, hak – haknya diabaikan, upah yang rendah, jam kerja yang panjang, tidak punya hari libur, dan tanggung jawab yang berlapis, hal itupun dialami oleh pekerja migran Indonesia yang mengadu nasib di negeri orang dimana data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BN2PTKI) mengatakan Sepanjang 2014 - Maret 2019, kuantitas Pekerja Migran Indonesia (PMI) mencapai 1,55 juta pekerja. Khusus selama triwulan pertama 2019, populasinya mencapai 64.062 orang terdiri dari 19.597 (31%) pekerja laki-laki dan 44.465 (70%) pekerja perempuan5 . Buruh migran perempuan lebih rentan daripada pekerja laki-laki, gaji tidak dibayar, bekerja melebihi kontrak kerja, disiksa oleh majikan dan menjadi korban trafficking.
Penyiksaan, intimidasi, juga dialami oleh kelompok LGBTI karena orientasi seksual dan identitas gendernya yang berbeda sehingga dicap oleh masyarakat sebagai pembawa malapetaka dan merusak tatanan masyarakat yang sudah ada, hal ini juga diperparah dengan kelompok fundamentalis yang melakukan pembubaran setiap kegiatan – kegiatan yang dilaksanakan oleh kelompok LGBTI. Selain itu masih ada kebijakan yang mendiskriminasi perempuan salah satu contohnya adalah penerapan hukum Qanun JInayat di Aceh, yang membatasi ruang gerak perempuan, jika terjadi perkosaan maka yang diuntungkan adalah laki – laki sedangkan perempuan yang menjadi korban mengalami stigma negatif dimasyarakat, dan juga razia di tempat umum jika perempuan kedapatan tidak menggunakan jilbab, padahal perempuan punya hak untuk mengatur tubuhnya sendiri tetapi yang terjadi justru perempuan didikte bagaimana “seharusnya” menjadi perempuan.
Kondisi diatas tidak terlepas bagaimana perempuan hidup ditengah masyarakat patriarki yang ditopang oleh sistem yang kapitalistik, relasi kuasa yang timpang antara laki – laki dan perempuan, menyebabkan perempuan tidak berdaya terhadap dirinya. Penindasan terhadap perempuan bukanlah sesuatu yang alami, beribu – ribu tahun yang lalu dimana belum dikenal masyarakat berkelas perempuan dan laki – laki memiliki kedudukan yang setara di ranah ekonomi, kekebasan diranah seksual dan penghormatan di ruang publik. masyarakat tanpa kelas adalah masyarakat yang memiliki alat – alat produksi secara bersama tanpa monopoli, tidak ada aparatur Negara yang dengan tentara dan polisinya memaksa orang untuk melayani kelas penguasa yang kaya dan menjaga agar rakyat pekerja tetap tunduk, pemerintah dijalankan bersama-sama secara demokratis.
Masyarakat nomaden adalah masyarakat yang mengumpulkan bahan makanan dari berburuh sebagai sumber penghidupan yang utama, kemudian mulai menetap disuatu wilayah karena alam tidak memungkinkan lagi menyediakan bahan makanan karena kondisi alam yang telah berubah, sehingga masyarakat pada waktu itu mulai bertani untuk bertahan hidup karena terdesak oleh kondisi. Karena pertanian memungkinkan orang – orang bekerja secara individu sehingga proses produksi yang tadinya dilaksanakan secara bersama – sama kemudian menjadi individual, oleh karena itu pertanian memperkenalkan kepemilikan pribadi dan patriarki, kenapa dengan patriarki? Karena sebelum ada pertanian garis keturunan seseorang ditentukan oleh siapa ibunya, hal itu bukan berarti bahwa perempuan lebih suferior terhadap laki – laki tetapi hanya untuk membedakan dengan yang lain. Tetapi ketika masyarakat terbagi – bagi dalam kelas sosial maka patriarki hidup dan menghancurkan garis keturunan sebelumnya yaitu ibu. Patriarki adalah sistem sosial yang menempatkan laki – laki sebagai pemegang kekuasaan yang mendominasi perempuan dan mengganggap perempuan sebagai kelas kedua.
Patriarki dipertahankan oleh kapitalisme dengan tujuan kapitalisme membutuhkan institusi keluarga untuk menyediakan buruh – buruh yang sehat dalam bekerja serta anak – anak yang sehat untuk keberlanjutan tenaga kerja bagi kapital, disamping tugas perempuan di ranah domestik, kapitalisme juga membutuhkan perempuan untuk kembali ke ranah produksi agar menghasilkan banyak keuntungan dengan upah yang rendah karena perempuan hanya dinilai sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarga.
Penindasaan terhadap perempuan berakar dari struktur kelas di masyarakat, sehingga untuk membebaskan perempuan bukan dengan melawan laki – laki, tetapi kelas melawan kelas harus menjadi garis pedoman dalam perjuangan untuk pembebasan manusia pada umumnya dan pembebasan perempuan pada khususnya, hanya dengan kemenangan melawan kapitalisme dan penghancuran budaya patriarki maka perempuan dapat hidup lebih baik di masyarakat dengan sistem yang lebih adil. Kemenangan hanya bisa dicapai apabila kelas pekerja baik laki – laki maupun perempuan bersama kelas – kelas tertindas lainnya yang sama – sama ditindas oleh kapitalisme melakukan perlawanan.
Referensi :
1. https://bumirakyat.wordpress.com/2012/03/08/sejarah-hari-perempuan-internasional/
2. https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-siaran-pers-dan-lembar-fakta-komnas-perempuan-catatan-tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2020
3. http://kpa.or.id/media/baca2/siaran_pers/133/Bersatu_Melawan_Perampasan_Tanah__Jalankan_Reforma_Agraria_Untuk_Keadilan_dan_Kesejahteraan_Rakyat/ 4. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/10/11/kesenjangan-upah-antar-gender-semakin-melebar
5. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/07/30/2014-maret-2019-penempatan-pekerja-migran-capai-155-juta
6. Evelyn Reed,2019.Mitos Inferioritas Perempuan.Yogyakarta:Penerbit Independen

0 Komentar